ASPEK PERPAJAKAN TRANSAKSI MURABAHAH PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN
Berlakunya Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 dan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009, memberikan angin segar bagi pelaku transaksi
syariah. Pasalnya kedua Undang Undang ini mulai mengatur perlakuan
perpajakan secara khusus atas transaksi syariah, sehingga lebih
memberikan kepastian hukum perlakuan perpajakan transaksi syariah yang
selama ini terjadi terdapat perbedaan persepsi mengenai perlakuan
perpajakan antara para pelaku transaksi syariah dan Direktorat Jenderal
pajak.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal
31D memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur
perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi kegiatan Usaha Berbasis
Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku atas transaksi
sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama yang
berdasarkan sistem konvensional. Dengan demikian, perlakuan Pajak
Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan
yang sama
(level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama.
Kenyataannya transaksi syariah memang unik. Prinsip dalam transaksi
syariah yang melarang adanya unsur:
a. riba (unsur bunga dalam
segala bentuk dan jenisnya, baik riba
nasiah maupun
fadhl);
b. kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan);
c.
maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);
d.
gharar (unsur ketidakjelasan); dan
e. haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang terkait).
Konsekuensi dengan tidak diperkenankannya adanya unsur riba, maka
pengenaan bunga seperti dalam kelaziman pembiayaan konvensional tidak
diperkenankan, sehingga dalam transaksi syariah pola pembiayaan diubah
dengan skema-skema tertentu yang jika dikenakan pajak dengan perlakuan
perpajakan yang berlaku umum akan mengakibatkan perlakuan yang tidak
netral antara pembiayaan dengan prinsip syariah dan pembiayaan
konvensional.
Dalam prakteknya, transaksi syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk
mudharabah dan
musyarakah;
b. transaksi jual beli dalam bentuk
murabahah, salam, dan
istisna;
c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk
ijarah dan
ijarah muntahiya bittamlik; dan
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk
qardh;
Tulisan ini hanya akan membahas aspek perpajakan atas transaksi transaksi
murabahah saja, dengan pertimbangan bahwa transaksi ini saat ini yang paling dominan yang dilakukan para pelaku transaksi syariah.
A. Transaksi Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli.
Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam
murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam
murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset
murabahah
yang telah dibeli oleh penjual mengalami penurunan nilai sebelum
diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi
tanggungan penjual dan akan mengurangi nilai akad.
Pembayaran
murabahah dapat dilakukan secara tunai atau
tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada
saat barang diserahkan kepada pembeli, tetapi pembayaran dilakukan
secara angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.
Akad
murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad
murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati, maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan.
B. Akuntansi Murabahah
Sesuai dengan PSAK No 102 diatur mengenai perlakuan akuntansi dari sisi penjual maupun pembeli
Akuntansi Untuk Penjual
Pada saat perolehan, aset
murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan.
Pengukuran aset
murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut:
- jika murabahah pesanan mengikat, maka:
- dinilai sebesar biaya perolehan; dan
- jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak, atau kondisi
lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diaku
sebagai beban dan mengurangi nilai aset:
- jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka:
- dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan
- jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
Diskon pembelian aset
murabahah diakui sebagai:
- pengurang biaya perolehan aset murabahah, jika terjadi sebelum akad murabahah;
- kewajiban kepada pembeli, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang disepakati menjadi hak pembeli;
- tambahan keuntungan murabahah, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad menjadi hak penjual; atau
- pendapatan operasi lain, jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan dalam akad.
Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon pembelian akan tereliminasi pada saat:
- dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah dikurangi dengan biaya pengembalian; atau
- dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau oleh penjual.
Pada saat akad
murabahah, piutang
murabahah diakui sebesar biaya perolehan aset
murabahah ditambah keuntungan yang disepakati. Pada akhir periode laporan keuangan, piutang
murabahah dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang.
Keuntungan
murabahah diakui:
- pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun; atau
- selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk
merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari
satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling
sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahahnya:
(i) Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan untuk tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaa piutang serta penagihannya relatif kecil;
(ii) Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasih ditagih dari piutang murabahah. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah
tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau
beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga;
(iii) Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah
tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan
piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang
dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.
Pengakuan keuntungan, dalam dilakukan secara proporsional atas
jumlah piutang yang berhasil ditagih dengan mengalikan persentase
keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih. Persentase
keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya
perolehan aset
murabahah.
Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi
murabahah
dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00;
serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun; dimana jumlah
angsuran, pokok dan keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sebagai
berikut:
Tahun
|
Angsuran
|
Pokok
|
Keuntungan
|
1
|
500
|
400
|
100
|
2
|
300
|
240
|
60
|
3
|
200
|
160
|
40
|
Potongan pelunasan piutang
murabahah yang diberikan kepada
pembeli yang melunasi secara tepat waktu atau lebih cepat dari waktu
yang disepakati diakui sebagai pengurang keuntungan
murabahah.
Pemberian potongan pelunasan piutang
murabahah dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu metode berikut:
- diberikan pada saat pelunasan, yaitu penjual mengurangi piutang murabahah dan keuntungan murabahah; atau
- diberikan setelah pelunasan, yaitu penjual menerima pelunasan
piutang dari pembeli dan kemudian membayarkan potongan pelunasannya
kepada pembeli
Potongan angsuran
murabahah diakui sebagai berikut:
- jika disebabkan oleh pembeli yang membayar secara tepat waktu, maka diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah;
- jika disebabkan oleh penurunan kemampuan pembayaran pembeli, maka diakui sebagai beban.
Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya
sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana
kebajikan.
Pengakuan dan pengukuran uang muka adalah sebagai berikut:
- uang muka diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima;
- jika barang jadi dibeli oleh pembeli, maka uang muka diakui sebagai pembayaran piutang (merupakan bagian pokok);
- jika barang batal dibeli oleh pembeli, maka uang muka dikembalikan
kepada pembeli setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh penjual.
Akuntansi Untuk Pembeli Akhir
- Hutang yang timbul dari transaksi murabahah tangguh diakui sebagai hutang murabahah sebesar harga beli yang disepakati (jumlah yang wajib dibayarkan);
- Aset yang diperoleh melalui transaksi murabahah diakui sebesar biaya perolehan murabahah tunai. Selisih antara harga beli yang disepakati dengan biaya perolehan tunai diakui sebagai beban murabahah tangguhan;
- Beban murabahah tangguhan diamortisasi secara proporsional dengan porsi hutang murabahah;
- Diskon pembelian yang diterima setelah akad murabahah, potongan pelunasan dan potongan hutang murabahah diakui sebagai pengurang beban murabahah tangguhan;
- Denda yang dikenakan akibat kelalaian dalam melakukan kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian;
- Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal membeli barang diakui sebagai kerugian.
Ilustrasi Jurnal
Jurnal Penjual
|
Jurnal Pembeli
|
Penjual melakukan pembelian barang dari supplier
|
Db. Persediaan murabahah
Kr. Kas
|
-
|
Penjualan barang murabahah
|
Db. Piutang murabahah
Kr. Persediaan murabahan
Kr. Pendapatan murabahah ditangguhkan
|
Db. Aktiva
Db. Beban murabahan ditangguhkan
Dr. Hutang murabahah
|
|
|
Pembayaran angsuran murabahah
|
Db. Kas
Kr. Piutang murabahah
|
Db. Hutang murabahah
Kr. Kas
|
Db. Pendapatan murabahah ditangguhkan
Kr. Pendapatan murabahah
|
Db. Beban murabahah
Kr. Beban murabahah ditangguhkan
|
C. Aspek Pajak Transaksi Murabahah
Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh)
Penghasilan Objek PPh:
Pembiayaan
murabahah menggunakan prinsip jual beli
sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang
diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana.
Ketentuan pemajakan atas transaksi
murabahah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Karena terkait dengan pembiayaan, bukan
semata-mata transaksi jual beli, maka terhadap margin tersebut
diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak
Penghasilan. Dalam hal penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam
negeri, sesuai dengan ketentuan pasal 23 UU PPh, akan dipotong PPh
Pasal 23 dengan tarif 15%. Apabila penerima penghasilan tidak memiliki
NPWP maka akan dipotong PPh pasal 23 sebesar 100% lebih tinggi dari
tarif normal. Sedangkan jika penerima penghasilan merupakan subjek pajak
luar negeri maka akan dikenakan PPh pasal 26 dengan tarif 20% atau
tarif sesuai dengan
tax treaty.
Namun demikian, dalam hal transaksi
murabahah dilakukan oleh
Bank Syariah sebagai penjual maka atas margin tersebut tidak dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat
(4) UU Pajak Penghasilan dimana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank tidak dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23.
Sampai saat ini ketentuan perpajakan belum mengatur secara khusus saat pengakuan penghasilan dalam transaksi
murabahah
yang dilakukan Bank Syariah. Sesuai dengan pasal 28 UU KUP perlakukan
perpajakan mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan. Dalam PSAK 102
keuntungan
murabahah diakui:
- pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun; atau
- selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk
merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari
satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling
sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahah-nya:
- Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan untuk murabahah tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya relatif kecil.
- Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang murabahah. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah
tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau
beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga.
- Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah
tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan
piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang
dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.
Pengakuan keuntungan, dalam hal dilakukan secara proporsional atas
jumlah piutang yang berhasil ditagih, dilakukan dengan cara mengalikan
persentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih.
Persentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan
biaya perolehan aset
murabahah.
Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi
murabahah
dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00;
serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun; dimana jumlah
angsuran, pokok dan keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sebagai
berikut:
Tahun
|
Angsuran
|
Pokok
|
Keuntungan
|
1
|
500
|
400
|
100
|
2
|
300
|
240
|
60
|
3
|
200
|
160
|
40
|
Dalam transaksi
murabahah denda dikenakan jika pembeli lalai
dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima
diakui sebagai bagian dana kebajikan oleh Bank Syariah. Denda yang
diterima tersebut secara fiskal merupakan penghasilan objek PPh.
Pada akhir tahun pendapatan margin
murabahah diakumulasi bersama dengan penghasilan lainnya dikenakan PPh Tarif Umum dari basis netto.
Dalam hal Bank Syariah menjual tanah dan bangunan perlu diperhatikan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan/Atau Bangunan. Ketentuan tersebut mengatur besarnya PPh
sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dan bersifat final. Nilai pengalihan hak
tersebut adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta
Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan.
Terkait dengan transaksi
murabahah ketentuan ini bisa menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Bank Syariah, karena transaksi
murabahah
yang dilakukan oleh Bank Syariah tujuannya adalah pembiayaan bukan
semata-mata jual beli, sehingga seharusnya Bank Syariah tidak dikenakan
PPh Final atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan.namun tetap mengacu pada prinsip umum transaksi
murabahah dimana objek PPh dikenakan atas margin
murabahah dan tidak bersifat final.
Biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung PPh :
Dalam PSAK 102 piutang
murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu saldo piutang
murabahah
dikurangi penyisihan kerugian piutang. Untuk kepentingan penghitungan
PPh, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang
Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai
Biaya diatur bahwa Bank syariah diperkenankan untuk membuat pencadangan
piutang tak tertagih. Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank
umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
sebagai berikut :
- 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan Pemerintah berdasarkan prinsip syariah;
- 5 % (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;
- 5% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
- 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
- 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :
- 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
- 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
Sedangkan besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank
perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah ditetapkan sebagai berikut :
- 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia;
- 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
- 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
- 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :
- 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
- 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
PSAK 102 menyatakan pengukuran aset
murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut:
- jika murabahah pesanan mengikat, maka:
- dinilai sebesar biaya perolehan; dan
- jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak, atau kondisi
lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui
sebagai beban dan mengurangi nilai aset:
- jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka:
- dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan
- jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
Pengukuran aset
murabahah menurut PSAK tersebut merupakan penerapan prinsip konservatisme. UU PPh tidak menganut prinsip konservatisme, sehingga aset
murabahah
akan selalu dinilai menggunakan biaya perolehan. Biaya yang muncul
terkait dengan penerapan prinsip konservatisme oleh ketentuan UU PPh
tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Ketentuan perpajakan menganut
prinsip realisasi. Kerugian karena penurunan aktiva baru akan diakui
ketika benar-benar terealisasi yaitu ketika dijual.
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dengan berlakunya UU No 42 tahun 2009, perlakuan PPN untuk transaksi pembiayaan
murabahah
yang selama ini menjadi ganjalan menjadi lebih jelas. Bank Syariah
tidak perlu memungut PPN atas penyerahan barang kena pajak kepada
pembeli akhir. Berdasarkan Pasal 1 A ayat (1) huruf h UU No 42 Tahun
2009 penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah,
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak
yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Contoh : dalam transaksi
murabahah, bank syariah bertindak
sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari
Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B).
Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu
kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada
Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor
tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada
Tuan B.
Perlakuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dalam hal Bank Syariah melakukan transaksi
murabahah atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menjadi objek BPHTB. Tarif BPHTB
sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak.
Kondisi ini menciptakan perlakuan yang tidak netral dengan perbankan
konvensional. Dalam kasus kredit perumahan oleh bank konvensional jual
beli terjadi antara perusahaan pengembang perumahan (developer) dengan
kreditur selaku pembeli. Sehingga BPHTB terutang langsung pada kreditur
selaku pembeli. Namun dalam transaksi
murabahah, secara akad
terjadi dua transaksi jual beli yaitu antara perusahaan pengembang
perumahan dengan Bank Syariah dan antara bank syariah dengan nasabah
selaku pembeli akhir. Akibatnya BPHTB terutang dua kali, yaitu oleh Bank
Syariah dan oleh nasabah selaku pembeli akhir.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah kewenangan pengenaan BPHTB paling lambat
mulai tahun 2011 berada pada Kabupaten/Kota bukan lagi pada pemerintah
pusat. Sehingga mulai tahun 2011 mekanisme pengenaan BPHTB tidap daerah
bisa berbeda tergantung dari Peraturan Daerah masing-masing.
Perlakuan Bea Meterai
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 TAHUN 1985 Tentang Bea Meterai, dokumen yang terutang bea meterai saat akad
murabahah disepakati, antara lain :
- surat perjanjian/akad murabahah;
- kuitansi/tanda terima uang;
- akta-akta yang dibuat oleh pejabat PPAT dalam hal akad murabahah menyangkut pengalihan tanah
D. Penutup
Sampai saat ini aturan pelaksana untuk perlakuan perpajakan terhadap
transksi syariah khususnya mengenai Pajak Penghasilan baru sebatas pada
Peraturan Pemerintah, sedangkan untuk perlakuan Pajak Pertambahan nilai
baru sebatas Undang-Undang. Tentu saja para pelaku transaksi syariah
masih menunggu petunjuk teknis yang lebih jelas dalam aturan-aturan
pelaksanaan dibawahnya. Terkait dengan beragamnya pendekatan transaksi
syariah dan untuk memberikan perlakuan yang netral antar industri yang
sama disarankan pembentukan peraturan pelaksana untuk transaksi syariah
menggunakan pendekatan sektor industri, misalnya transaksi syariah
industri perbankan, transaksi syariah industri asuransi, dan industri
lainnya.
D. Daftar Pustaka
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
- Undang-Undang Nomor 13 TAHUN 1985 tentang Bea Meterai
- Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan
Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
- Ikatan Akuntan Indonesia, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
- Ikatan Akuntan Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah
- Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan no. 102 Akuntansi Murabahah
Ditulis oleh : Anang Mury Kurniawan, Widyaiswara Pusdiklat Pajak
Artikel ini dimuat di Majalah Gagas Pajak Edisi I Bulan Agustus 2010
Sumber : http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak