Bahaya Sistem Bunga
Muhammad Syarif Surbakti
(Senior Compliance and Risk Management Officer PT Bank
Muamalat Indoneisa)
Untuk menahan laju inflasi, Bank Indonesia menaikkan lagi BI
Rate jadi 11 persen. Asumsinya adalah mengimbangi laju inflasi yang setelah
kenaikan BBM terakhir diperkirakan mencapai 12 persen. Naiknya BI Rate memicu
naiknya suku bunga pinjaman dan deposito. Tahun 1998, tindakan ini
mengakibatkan bank konvensional berguguran. Amat dipahami bahwa bukan tanpa
dasar Islam melarang praktik bunga. Uraian di bawah ini menjelaskan dampak
negatif dari bunga bank.
1. Melahap kekayaan orang lain
Masih segar dalam ingatan fakta mengerikan ketika deposan
bank nasional melahap kekayaan dan akumulasi keuntungan bank nasional selama
puluhan tahun hanya dalam tempo tiga tahun (dalam kurun 1997-1999). Peristiwa itu
mengakibatkan kerugian agregat Rp 700 triliun yang jadi beban negara melalui
program penyehatan dan rekapitalisasi perbankan nasional.
Ini tak lain karena negative spread (bunga deposito lebih
tinggi dari suku bunga kredit). Ketika itu, rata-rata bunga deposito mencapai
40-60 persen, sedangkan bunga kredit 30-40 persen. Perbankan mengalami
pendarahan hebat. Modal tergerus hingga minus. Di sisi lain, usaha dan kerja
keras debitur jadi sia-sia karena biaya non-operasi (biaya bunga kredit) amat
mencekik hingga banyak perusahaan rugi.
2. Menimbulkan kebencian dan niat jahat
Orang-orang miskin, karena menyadari bahwa kreditor telah
memakan harta kekayaannya akan menyumpahi dan mengharapkan mereka tertimpa hal
buruk. Praktik bunga turut membantu menyebarluaskan keinginan jahat dan
kebencian di masyarakat. Berita kriminal di televisi kerap menampilkan kisah
pembunuhan yang diakibatkan utang-piutang. Profesi pemakan bunga, rentenir atau
apapun namanya di masyarakat memiliki nama yang tidak baik.
3. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin
Dalam masyarakat kapitalis, orang kaya akan menjadi semakin
kaya dengan mengumpulkan kekayaan orang miskin melalui bunga, sedangkan orang
miskin bertambah miskin. Bunga menjadi alat eksploitasi kaum kuat terhadap kaum
lemah. Ini diakui filsuf Yunani.
Sistem bunga mengerem investasi dan menurunkan tingkat
akumulasi modal, sebab semakin tinggi suku bunga maka tingkat investasi menjadi
semakin berkurang. Rasulullah SAW mengingatkan dan menegaskan suatu kepastian
sebagai hukum bahwa bunga tidak meningkatkan investasi bahkan sebenarnya
mengurangi kekayaan.
Dengan sistem bunga, orang yang punya uang memilih
mendepositokan uangnya pada salah satu bank yang aman dengan program penjaminan
pemerintah. Kemudian uangnya akan beranak-pinak menjadi berlipat kali, dengan
hanya tidur-tiduran saja di rumah. Sementara, bank karena negative spread akan
rugi (bangkrut).
4. Beban risiko dan keuntungan tidak adil
Dalam transaksi kredit berbasis bunga, secara struktural
beban risiko dan keuntungan (risk and return) tidak seimbang (fair) antara
kreditur dan debitur. Misalnya, dalam skim kredit berbasis bunga, kreditur
selalu memposisikan dirinya superior. Ini dapat dilihat dari akad kredit yang
secara tegas mengutamakan hak-hak prioritas kreditur di atas kepentingan
debitur.
Jika, nasabah mengalami kesulitan di dalam bisnisnya yang
murni dikarenakan masalah sistemik, bukan dikarenakan kecurangan dan kejahatan
moral, kreditur tidak akan mau tahu. Debitur tetap wajib membayar kewajiban
pokok dan bunga. Jika terlambat, bunganya akan bertambah plus tunggakan dan
denda. Jika nasabah memperoleh keuntungan yang sangat besar, kreditur tetap
mendapat porsi yang lebih kecil sebesar suku bunga pinjaman yang ditetapkan.
Kondisi ini akan berbeda bila skim yang digunakan adalah
bagi hasil. Nasabah juga jadi was-was dan tak berani mengembangkan usaha karena
hasil usaha sifatnya belum pasti sedangkan bunga bank pasti dan harus dibayar.
Jaminan di dalam skim transaksi berbasis bunga murni berfungsi sebagai sumber
alternatif pengembalian pinjaman plus bunganya dan denda (pure secondary
wayout). Debitur sering kehilangan harta yang jadi agunan sehingga hidup lebih
miskin dari sebelumnya.
5. Social cost meningkat
Salah satu dampak sistem utang konvensional sekarang ini
adalah memberikan bentuk kekuasaan yang nyata, yaitu kekuasaan kreditor
melakukan intervensi ke dalam sistem perekonomian negara-negara pengutang
hingga menggoyang kedaulatan negara.
Akibat hutang dengan sistem bunga, hutan negara tropis
mengalami penggundulan sehingga ekosistem dan iklim jadi tidak seimbang. Utang
yang harus dibayar kepada pihak asing dan obligasi pemerintah pada bank-bank
yang direkap (berikut bunganya) diperkirakan menggelembung jadi Rp 2000
triliun. Jika kita mampu membayar Rp 2 triliun setiap tahun, maka utang
Indonesia baru lunas 1000 tahun, itu pun dengan syarat tidak ada lagi tambahan
hutang baru.
Apa yang telah dilakukan Pemerintah untuk menanggung hutang
ribawi tersebut di dalam APBN-nya? Rentetan fakta yang kita saksikan secara
langsung adalah menaikkan harga- harga barang/jasa strategis seperti BBM,
listrik, telepon dan barang-barang lainnya melalui skim perpajakan. Yang lebih
tragis lagi adalah mengobral aset dan sumber daya alam strategis negara.
Hal lain yang patut dicemaskan adalah bunga akan berdampak
kepada inflasi. Semakin tinggi suku bunga, maka tingkat inflasi juga akan
semakin tinggi. Jika biaya bunga tinggi, maka produsen akan meningkatkan harga
barang dan memacu produksi barang supaya mencapai impas. Pada sisi lain, daya
beli dan investasi terbatas. Pengangguran pun bertambah. Wallahu a'lam.
( )
Republika, Kamis, 06 Oktober 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar