SOLUSI PERMASALAHAN BISNIS DALAM PERSPEKTIF TASAWUF
Kehidupan bisnis
(swasta dan BUMN) di Indonesia kelihatannya semakin terpuruk
ketika praktek KKN semakin marak. Bisnis saat ini sudah meninggalkan ajaran
Tuhan, sehingga tidak perlu ada etika dalam
bisnis. Zaman ini kita merasa adanya paradoks : keberlimpahan materi dan
kemiskinan ruhani. Dengan ini, manusia modern khususnya pengelola bisnis
ditarik kembali kepada pertanyaan-pertanyaan purba yaitu apa yang sesungguhnya
kita cari ? siapa sesungguhnya kita ? dari mana kita berasal dan mau ke mana
kita ini ?
Berbeda
dengan sekuler, masyarakat religius mengembangkan bisnis yang bersumber dari
hati nurani manusia beragama yang masih mengakui adanya kekuatan di luar diri
manusia yaitu Allah yang mengatur kehidupan manusia, termasuk bidang bisnis.
Pengelolaan
bisnis yang sukses di mata Allah harus dilihat dari perspektif tasawuf karena
tasawuf mengajarkan sikap-sikap hidup yang baik, yang merupakan ajaran inti
ajaran etika seperti sederhana, sabar, ikhlas, tawakhal, ridha dan melarang
sikap-sikap yang buruk seperti mudah marah, iri hati, kikir, serakah dan lain lain
(aboebakar, 1985). Bisnis dengan hukum nya
hanya mengatur tingkah laku lahiriah tetapi tasawuf menekankan pada aspek
kesadaran batin dan sebagai sarana untuk dekat dengan Allah (Nasution,1990).
Dengan
tasawuf, pengelola bisnis dapat melindungi hati dari godaan duniawi dan
mengajarkan bagaimana meraih suasana hidup yang lebih tenteram, memperbaiki
kesalahan-kesalahan batin dan menyirnakan egoisme berlebihan. Secara praktis,
dengan tasawuf pengelola bisnis dapat menempa diri menjadi lebih
bertanggungjawab atas perilaku bisnis sehari-hari dan menunjukkan bagaimana
berperilaku santun dan kasih pada orang lain.
Sangat
menarik, bila bisnis mempraktekkan kehidupan bisnis dengan sungguh-sungguh (berkompetisi)
selain menjalankan hidup kesufian yang
memasrahkan hidupnya kepada Allah. Mereka bekerja sepanjang hari dari pagi
hingga sore dan pada malam hari mereka beribadah dan menjalankan amalan. Bisnis
tidak hanya dipandang sebagai syariat (memperbaiki zawahir atau anggota badan)
tetapi bisnis harus dipandang sebagai tarekat (memperbaiki hati) dan sekaligus
hakikat (memperbaiki ruh) bagi pemilik,
pengelola dan pengguna bisnis.
SOLUSI PERMASALAHAN BISNIS
Setiap
pengelola bisnis harus memiliki kesadaran Tuhan dekat dengan manusia, Tuhan
berada didalam diri manusia, perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan siapa
orang yang mengetahui dirinya itulah orang yang mengetahui Tuhan. “Di situlah
wajah Allah” tidak hanya diartikan bahwa kekuasaan Allah meliputi seluruh alam.
Oleh karena itu dimana manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia
selalu berada berhadapan dengan Allah. Sedangkan kaum sufi mengartikan bahwa kemana saja manusia berpaling ia akan
berjumpa dengan Tuhan.
Memperbaiki
akhlak dari pengelola bisnis melalui tiga aspek yaitu memperbaiki syariat
dengan tobat, takwa dan istiqamah, Memperbaiki hati dengan ikhlas, sidq (jujur)
dan thumaninah (ketenangan) dan memperbaiki ruh dengan muraqabah
(waspada/merasa diawasai seolah-olah melihat Allah SWT), musyahadah
(menyaksikan asma, sifat Allah SWT ) dan makrifat (mengenal Allah SWT).
Belajar dari
kehidupan Rasulullah sebagai seorang sufi. Beliau menjauhkan dari kehidupan
mewah atau sederhana, yang merupakan praktek zuhud dari tasawuf. Namun disisi
lain Rasulullah adalah seorang kepala negara dan pedagang yang tangguh serta
dapat digolongkan orang kaya (materi). Bila Rasulullah mendapatkan rejeki
beliau cepat-cepat membagikan kepada fakir miskin. Abu bakar sewaktu tinggal di Mekkah merupakan
saudagar yang kaya, tetapi sewaktu hijrah ke madinah hidupnya lebih sederhana,
Umar bin Khattab sifat rendah hati (tawadhu)
sering meninjau kehidupan rakyatnya, Utsman bin affan dengan kesederhaan
walaupun hartanya banyak dan Ali bin Abu Thalib yang mengatakan bahwa sederhana merupakan sikap yang mulia,
Pernyataan sahabat nabi tersebut menandakan seorang sufi.
Tasawuf
harus terkait dengan syariat. Tasawuf menyangkut batin sedangkan syariat berkenaan
dengan aspek lahir. Keduanya harus diamalkan secara seimbang dan mutlak
diperlukan guna meraih hakekat kebenaran. Pelaku bisnis memang harus tahu
syariah dan fiqh baik aturan dan hukum
sesuai ajaran Allah dan Rasulnya maupun aturan dan hukum yang dibuat manusia.
Namun demikian seluruh pelaku bisnis harus disertai pula adanya kesadaran yang tinggi bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu yang dilakukan manusia. Dengan tasawuf, Muhammad amin
al-Kurdi mendorong adanya tekad untuk
mensucikan jiwa dari sifat buruk, diiisi dengan sifat baik, serta berusaha
menambah jalan untuk berada dekat di sisi Allah SWT. Sedangkan Ibn Arabi
mendorong implementasi tasawuf dengan konsisten dengan hukum syariat baik lahir
maupun batin dengan selalu menjalankan akhlak (budi pekerti, tingkah laku)
terpuji dan menjauhi akhlak tercela.
Alangkah
indahnya bila akhlaq bisnis harus didasarkan hati nurani moral, kewajiban
moral, pertimbangan moral, tanggung jawab moral dan ganjaral moral
(Tebba,2005). Bisnis tidak berpikir demi kepentingan diri sendiri tetapi
sebenarnya bisnis terutama BUMN ada karena kepentingan orang lain, meningkatkan
kualitas hidup manusia dan mensejahterakan umat manusia. Bisnis harus tunduk
dengan hukum juga harus berjalan dengan etis agar berlangsung jujur dan
menguntungkan semua pihak.
Memang
seharusnya bisnis terutama BUMN dapat
menjadi sarana taqwa dengan memelihara dan menjaga diri dari kejahatan,
melindungi diri dari sesuatu yang dilarang Allah. Bisnis juga merupakan manifestasi
syukur berupa kegembiraan hati atas datangnya nikmat dengan mengerahkan seluruh
anggota badan dan kemampuannya untuk taat kepada pemberi nikmat dan mengakui
nikmat pemberiannya tersebut dengan penuh ketundukan (syukur).
Sumber : http://www.asyhari.com/artikel-112-solusi-permasalahan-bisnis-dalam-perspektif--tasawuf.html
Kategori: Spiritual Marketing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar