Halaman

Sabtu, 29 Desember 2012

SOLUSI PERMASALAHAN BISNIS DALAM PERSPEKTIF TASAWUF


SOLUSI PERMASALAHAN BISNIS DALAM PERSPEKTIF TASAWUF


Kehidupan bisnis (swasta dan  BUMN)  di Indonesia kelihatannya semakin terpuruk ketika praktek KKN semakin marak. Bisnis saat ini sudah meninggalkan ajaran Tuhan,  sehingga tidak perlu ada etika dalam bisnis. Zaman ini kita merasa adanya paradoks : keberlimpahan materi dan kemiskinan ruhani. Dengan ini, manusia modern khususnya pengelola bisnis ditarik kembali kepada pertanyaan-pertanyaan purba yaitu apa yang sesungguhnya kita cari ? siapa sesungguhnya kita ? dari mana kita berasal dan mau ke mana kita ini ?
Berbeda dengan sekuler, masyarakat religius mengembangkan bisnis yang bersumber dari hati nurani manusia beragama yang masih mengakui adanya kekuatan di luar diri manusia yaitu Allah yang mengatur kehidupan manusia, termasuk bidang bisnis.
Pengelolaan bisnis yang sukses di mata Allah harus dilihat dari perspektif tasawuf karena tasawuf mengajarkan sikap-sikap hidup yang baik, yang merupakan ajaran inti ajaran etika seperti sederhana, sabar, ikhlas, tawakhal, ridha dan melarang sikap-sikap yang buruk seperti mudah marah, iri hati, kikir, serakah dan lain lain (aboebakar, 1985).  Bisnis dengan hukum nya hanya mengatur tingkah laku lahiriah tetapi tasawuf menekankan pada aspek kesadaran batin dan sebagai sarana untuk dekat dengan Allah (Nasution,1990).
Dengan tasawuf, pengelola bisnis dapat melindungi hati dari godaan duniawi dan mengajarkan bagaimana meraih suasana hidup yang lebih tenteram, memperbaiki kesalahan-kesalahan batin dan menyirnakan egoisme berlebihan. Secara praktis, dengan tasawuf pengelola bisnis dapat menempa diri menjadi lebih bertanggungjawab atas perilaku bisnis sehari-hari dan menunjukkan bagaimana berperilaku santun dan kasih pada orang lain.
Sangat menarik, bila bisnis mempraktekkan kehidupan bisnis dengan sungguh-sungguh (berkompetisi) selain  menjalankan hidup kesufian yang memasrahkan hidupnya kepada Allah. Mereka bekerja sepanjang hari dari pagi hingga sore dan pada malam hari mereka beribadah dan menjalankan amalan. Bisnis tidak hanya dipandang sebagai syariat (memperbaiki zawahir atau anggota badan) tetapi bisnis harus dipandang sebagai tarekat                  (memperbaiki hati) dan sekaligus hakikat (memperbaiki ruh)  bagi pemilik, pengelola dan pengguna bisnis.  
 
SOLUSI PERMASALAHAN BISNIS
            Setiap pengelola bisnis harus memiliki kesadaran Tuhan dekat dengan manusia, Tuhan berada didalam diri manusia, perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan siapa orang yang mengetahui dirinya itulah orang yang mengetahui Tuhan. “Di situlah wajah Allah” tidak hanya diartikan bahwa kekuasaan Allah meliputi seluruh alam. Oleh karena itu dimana manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berada berhadapan dengan Allah. Sedangkan kaum sufi mengartikan  bahwa kemana saja manusia berpaling ia akan berjumpa dengan Tuhan.
            Memperbaiki akhlak dari pengelola bisnis melalui tiga aspek yaitu memperbaiki syariat dengan tobat, takwa dan istiqamah, Memperbaiki hati dengan ikhlas, sidq (jujur) dan thumaninah (ketenangan) dan memperbaiki ruh dengan muraqabah (waspada/merasa diawasai seolah-olah melihat Allah SWT), musyahadah (menyaksikan asma, sifat Allah SWT ) dan makrifat (mengenal Allah SWT).
Belajar dari kehidupan Rasulullah sebagai seorang sufi. Beliau menjauhkan dari kehidupan mewah atau sederhana, yang merupakan praktek zuhud dari tasawuf. Namun disisi lain Rasulullah adalah seorang kepala negara dan pedagang yang tangguh serta dapat digolongkan orang kaya (materi). Bila Rasulullah mendapatkan rejeki beliau cepat-cepat membagikan kepada fakir miskin.  Abu bakar sewaktu tinggal di Mekkah merupakan saudagar yang kaya, tetapi sewaktu hijrah ke madinah hidupnya lebih sederhana, Umar bin Khattab sifat rendah hati (tawadhu) sering meninjau kehidupan rakyatnya, Utsman bin affan dengan kesederhaan walaupun hartanya banyak dan Ali bin Abu Thalib yang mengatakan bahwa sederhana merupakan sikap yang mulia, Pernyataan sahabat nabi tersebut menandakan seorang sufi.
            Tasawuf harus terkait dengan syariat. Tasawuf menyangkut batin sedangkan syariat berkenaan dengan aspek lahir. Keduanya harus diamalkan secara seimbang dan mutlak diperlukan guna meraih hakekat kebenaran. Pelaku bisnis memang harus tahu syariah dan fiqh  baik aturan dan hukum sesuai ajaran Allah dan Rasulnya maupun aturan dan hukum yang dibuat manusia. Namun demikian seluruh pelaku bisnis harus disertai pula  adanya kesadaran yang tinggi bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang dilakukan manusia. Dengan tasawuf, Muhammad amin al-Kurdi mendorong adanya tekad  untuk mensucikan jiwa dari sifat buruk, diiisi dengan sifat baik, serta berusaha menambah jalan untuk berada dekat di sisi Allah SWT. Sedangkan Ibn Arabi mendorong implementasi tasawuf dengan konsisten dengan hukum syariat baik lahir maupun batin dengan selalu menjalankan akhlak (budi pekerti, tingkah laku) terpuji  dan menjauhi akhlak tercela.
Alangkah indahnya bila akhlaq bisnis harus didasarkan hati nurani moral, kewajiban moral, pertimbangan moral, tanggung jawab moral dan ganjaral moral (Tebba,2005). Bisnis tidak berpikir demi kepentingan diri sendiri tetapi sebenarnya bisnis terutama BUMN ada karena kepentingan orang lain, meningkatkan kualitas hidup manusia dan mensejahterakan umat manusia. Bisnis harus tunduk dengan hukum juga harus berjalan dengan etis agar berlangsung jujur dan menguntungkan semua pihak.
Memang seharusnya bisnis terutama BUMN   dapat menjadi sarana taqwa dengan memelihara dan menjaga diri dari kejahatan, melindungi diri dari sesuatu yang dilarang Allah. Bisnis juga merupakan manifestasi syukur berupa kegembiraan hati atas datangnya nikmat dengan mengerahkan seluruh anggota badan dan kemampuannya untuk taat kepada pemberi nikmat dan mengakui nikmat pemberiannya tersebut dengan penuh ketundukan (syukur). 

(Dr. H. Asyhari SE, MM, Dosen Fakultas Ekonomi dan Magister Manajemen Unissula Semarang ).
Sumber : http://www.asyhari.com/artikel-112-solusi-permasalahan-bisnis-dalam-perspektif--tasawuf.html
Kategori: Spiritual Marketing 

Implementasi Tasawuf Dalam Bisnis

Disusun oleh : Ermas Andico Syamda, Tasawuf Dan Bisnis

Dalam perkembangannya etika bisnis dipengaruhi oleh setidaknya tiga hal, yaitu filsafat, kebudayaan dan agama. Pengaruh filsafat terhadap etika bisnis sangat besar, karena etika itu merupakan bagian dari filsafat. Kebudayaan juga berpengaruh dalam etika bisnis, karena pelaku bisnis biasanya memiliki kebidayaan tertentu, termasuk bidang di bidang bisnis. Lalu agama berpengaruh pula dalam etika berbisnis, terutama bagi pelaku bisnis yang beragama.

Kalau pelaku bisnis itu beragama Islam, maka etika bisnis Islam tentunya berpengaruh pada kehidupan bisnis mereka. Etika bisnis dalam Islam dipengaruhi oleh tasawuf, suatu ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagi orang untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Sebab mendekatkan diri dengan Allah orang Islam harus menjauh akhlak yang tercela dan mengamalkan akhlak terpuji. Dalam tasawuf orang harus dahulu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela, kemudian mengisi dirinya dengan akhlak terpuji.

Akhlak yang tercela atau mazmumah ialah :
Ananiah = egois,
Al-baghyu = melacur
Al-bkhl = kikir,
Al-buthan = berdusta dengan tujuan memburuk-burukan orang lain,
Khamr = minuman keras,
Al-khiyanah = kianat,
Al-dzulm = aniaya,
Al-jubn = pengecut
Al-fawahisy = dosa besar
Al ghdlab = pemarah,
Al-ghasysyu= menipu sukatan/timbangan,
Al-ghibah = pengumpat,
Al-ghina = merasa tidak perlu orang lain,
Al-ghurur = memperdayakan,
Hubbuddunya = mencintai dunia dengan melupakan agama,
Al-hasad = dengki,
Al-hiqdu = dendam,
Al-ifsad = membuat kerusakan,
Al-intihar = menjerumuskan diri,
Al-israf = berlebihan,
Al-istikbar = sombong,
Al-kizb = dusta,
Al-liwath = homo seks,
Al-makru = penipuan,
Al-riba,riya’ = mencari muka,
Sikhriyah = berolok-olok,
Sariqa = mencuri,
Syahwat = mengikuti hawa nafsu,
Tabzir = mubazir.

Sedangkan dalam tasawuf dan bisnis menyangkut akhlak yang terpuji atau mahmudah ialah :
Amanah = jujur,
Alifah = berbuat baik,
Khusyu’ = tunduk,
Dliyafah = menghormati tamu,
Haya’ = malu,
Hilm = sopan,
Adil, ikha’ = menganggap orang lain sebgai saudara,
Ihsan = berbuat baik dalam ranga taat kepada Allah,
Ifafah = menjaga kesucian,
Muruah = berbudi luhur,
Nadhafah = bersih,
Rahman = kasih sayang,
Sakha’ = dermawan,
Salam = damai,
Shalih = baik,
Sabar, sidqah = benar,
Syaja’ah = berani,
Ta’awun = tolong menolong,
Tadlarru = rendah diri kepada Allah,
Tawadlu’ = rendah hati kepada sesama manusia,
Qana’ah = merasa cukup dengan apa yang diperoleh,
Izzatunnafs = kuat jiwa dan fisik,
Wafa’ = menepati janji,
Iqtishad = hemat,
Syafaqah = belas kasihan,
Nashiha – memberi nasehat,
Nashr = memberi pertolongan,
Itsa = mendahulukan kepentingan orang lain dan
Samanah = toleransi.

Sesungguhnya kita menjauhi akhlak tercela, lalu mengamalkan akhlak yang terpuji berlaku dalam semua bidang kehidupan, termasuk bidang bisnis. Dan perbuatan ini merupakan salah satu bentuk bentuk pengamalan tasawuf, karena tasawuf juga menghendaki pelaksanaan syariat. Hanya tasawuf merupakan aspek esoteris (batiniah), sedang syariat adalah aspek eksoteris (lahiriah) Islam, kedua aspek ini saling berintegrasi.

Hubungan antara tasawuf, syariat dan bisnis melahirkan etika usha dalam Islam. Etika usaha terlihat dalam praktek bisnis, seperti investasi, produksi, distribusi, promosi, konsumsi, dan hubungan karyawan dengan perusahaan.

Kajian diatas bersifat normatif, dan perlu ditindaklanjuti dengan kajian empiris tentang hubungan tasawuf dan bisnis dalam kehidupan imat Islam.

Sumber :  http://ermasandico.multiply.com/journal/item/121?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Pengertian Akad Dalam Transaksi Syariah

Pengertian akad dalam transaksi syariah

oleh: Anas Malik

Kontrak atau Akad dalam bahasa arab adalah ‘uqud jamak dari ‘aqd, yang secara bahasa artinya, mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat suatu perjanjian. Di dalam Hukum Islam, aqd artinya: “Gabungan atau penyatuan dari penawaran (Ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang disebutkan oleh pihak pertama.

Rukun akad ada tiga, yaitu:

1.Sighah, yaitu pernyataan ijab dan qabul dari kedua belah pihak, boleh dengan lafaz atau ucapan, boleh juga dilakukan dengan tulisan, sighah, haruslah selaras antara ijab dan qabul-nya. Apabila satu pihak menawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus rupiah, pihak lain haru menerima (qabul) dengan menyebutkan benda A senilai seratus rupiah pula, bukan benda B yang harganya 150 rupiah. Dalam sighah kedua belah pihak harus jelas menyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah ijab diucapkan, ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab 2 hari kemudian itu tidaklah sah, ijab dan qabul juga harus di lakukan di dalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis yang sama.

2. Aqidan, yaitu: pihak-pihak yang akan melakukan akad, kedua belah pihak yang akan melaksanakan akad ini harus sudah mencapai usia akil-baligh (sesuai hukum yang berlaku di suatu negara), harus dalam keadaan waras (tidak gila) atau mempunyai akal yang sehat, harus dewasa (rushd) dan dapat bertanggung jawab dalam bertindak, tidak boros, dan dapat dipercaya untuk mengelola masalah keuangan dengan baik.

3. Mahal al-aqd atau objek akad yaitu: jasa, atau benda-benda yang berharga dan objek akad tersebut tidak dilarang oleh syariah. Objek akad yang dilarang (haram) oleh hukum Islam adalah: 1. Alkohol, 2. Darah, 3. Bangkai, 4. Daging babi.

Kepemilikan dari objek akad harus sudah berada pada satu pihak, dengan kata lain,objek akad harus ada pada saat akad dilaksanakan, kecuali pada transaksi Salam dan Istisna. Objek akad harus sudah diketahui oleh kedua belah pihak, beratnya, harganya, spesifikasinya, modelnya, kualitasnya. Perlu diperhatikan di sini, di dalam hukum Islam, seseorang tidak diperbolehkan untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya, contohnya: menjual burung-burung yang masih terbang di udara, atau menjual ikan-ikan yang masih berenang di lautan lepas, karena tidak jelas berapa jumlah dan sulit untuk menentukan harga pastinya, yang berakibat pada adanya unsur ketidakpastian atau gharar. Ketidakpastian atau gharar ini dapat membatalkan akad, sama halnya dengan Riba (interest/bunga bank) dan Maisir (judi). Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah.

Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada 2.   
pertama. Sahih atau sah, yang artinya semua rukun kontrak beserta semua kondisi nya sudah terpenuhi,  
kedua. Batil, apabila salah satu dari rukun kontrak tidak terpenuhi maka kontrak tersebut menjadi batal atau tidak sah, apa lagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya.

Akad yang efektif dibagi lagi menjadi 2 , Yaitu :   

1. Lazim – mengikat. Akad lazim adalah akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Contohnya: perceraian dengan kompensasi pembayaran properti dari istri yang diberikan kepada suami.

2. Ghayr al –lazim – tidak mengikat. Akad ghayr al-lazim dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya contohnya dalam transaksi partnership (musyarakah), agency (wakalah), wasiat (wassiyyah), pinjaman (arriyah), dan penitipan (wadiah).

Reference:
1.INCEIF 2006, Aplied Shariah in Financial Transaction , The Requirement of shariah in Financial Transactions.
2. Briefcase Book Edukasi professional Syariah, Cara Mudah memahami akad-akad syariah, tim penyunting: Dr. Muhammad Firdaus NH, Sofiniah Ghufron, Muhammad Aziz Hakim, Mukhtar Alshodiq.

Sumber: http://nibrahosen.multiply.com
Posted by

Kaidah-Kaidah Khusus Bidang Muamalah

Kaidah-Kaidah Khusus Dalam Bidang Muamalah

Di antara kaidah khusus dalam bidang muamalah adalah sebagai berikut:
 
1. Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Maksud kaidah ini yaitu: bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerjasama, perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan lain-lain.
2. Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi baru sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.
3. Tidak seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik rang lain tanpa izin si pemilik harta.
Atas dasar kaidah ini maka penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya.
4. Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.
Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak.
 
Sumber: http://dasar-hukum-muamalat.blogspot.com/

Bahaya Compound Interest

Tangis Seorang Ibu Pengusaha dan Bahaya Compound Interest

By : Alihozi

Sepanjang perjalanan saya sebagai seorang bankir bank syariah sudah bertemu dengan berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang profesi dari pegawai sampa...i dengan pengusaha , dan hal itu membuat semakin menyad...arkan saya tentang bahayanya system compund interest (bunga berbunga) sub system bank konvensional dan pentingnya kita kembali kepada system ekonomi Islam yang bebas interest. Pengetahuan tentang hal inilah yang tidak saya dapatkan ketika saya bekerja sebagai Senior Accounting di perusahaan retail besar di Jakarta.

Sebelum menjadi bankir syariah , saya termasuk orang – orang yang mengatakan bahwa system bank syariah adalah sama dengan system bank konvensional. Untuk membuktikan pemikiran saya tsb saya terjun langsung menjadi bankir syariah, dan sekarang sesudah empat tahun berjalan menjadi bankir syariah ternyata pemikiran saya tsb tidak terbukti . Selama empat tahun tsb ternyata system bank syariah bukan hanya berbeda dengan bank konvensional tetapi adalah jauh lebih baik dan lebih adil dibandingkan dengan system bank konvensional.

Tulisan saya kali ini memang tidak akan mampu merubah dunia Islam yang sudah dalam cengkraman kuat system bank konvensional dengan sub system compounding interestnya, tetapi setidaknya saya mempunyai harapan besar agar sedikit demi sedikit ummat Islam kembali menyadari bahwa system interest adalah sebuah system yang bisa membawa bencana dunia dan akhirat kepada siapa saja yang menggunakannya baik bagi penyimpan maupun bagi peminjam uang.

Dan juga harapan agar ummat Islam bisa kembali kepada system ekonominya sendiri yaitu system ekonomi Islam seperti bank syariah yang bisa mendatangkan kemaslahatan untuk ummat Islam di Indonesia khususnya dan ummat Islam di Indonesia dan ummat Islam seluruh dunia pada umumnya.

Untuk meyakinkan para pembaca yang budiman tentang bahaya compund interest (bunga berbunga) dan kelebihan system bank syariah. Berikut ini sebuah kisah nyata bagaimana system sebuah bank konvensional dengan sub system compound interestnya telah membuat seorang Ibu pengusaha terjebak hutang di bank konvensional dengan sub system compund interestnya.

Suatu hari pada awal bulan Januari 2012, saya mengadakan perjalanan di daerah Jakarta Timur dalam rangka solisit seorang Ibu pengusaha , setelah berbicara baru ½ jam tiba-tiba pengusaha tsb berurai air mata sambil memegang kepalanya, saya jadi tidak enak melihatnya. Saya tunggu beberapa saat , setelah reda air matanya ia bercerita bahwa sebelum saya menawarkan pembiayaan bank syariah, ia sudah mendapatkan fasilitas kredit dari salah satu bank konvensional untuk membeli mesin produksi seharga 1 Milyar jangka waktu 5 tahun dan sudah berjalan masuk tahun ke tiga .

Selama satu tahun pinjamannya tidak ada masalah karena usahanya sedang bagus-bagusnya sehingga ia tidak pernah telat dalam membayar angsuran pinjaman + bunganya dan belum terkena compound interest.

Menginjak usia pinjaman tahun ke dua , usahanya mendadak turun 50% omzetnya karena pesanan dari langganannya tiba-tiba menurun drastis. Sehingga mempengaruhi pembayaran angsuran pinjaman + bunganya ke bank konvensional dari lancar menjadi sering telat, yang membuat ia sedih mengapa jumlah cicilannya menjadi semakin besar. Lalu saya meminta prin out rekening koran kredit miliknya, setelah membacanya ternyata ia telah terjebak pada system compund interest.

Berikut ini saya ilustrasikan dengan sederhana mengapa hutang Ibu Pengusaha tsb menjadi semakin membesar :
Jika Ibu Pengusaha tsb meminjam 1.000.000.000 , jangka waktu 5 tahun, interet 14% pa atau 1,166% per bulan , cicilan pokok per enam bulan Rp.100.000.000, Karena usahanya sedang bagus , Ibu tsb membayar dengan lancar angsuran pokok dan angsuran bunganya setiap bulan yaitu Rp.11.166.667 selama 6 bulan pertama, dan Rp.10.500.000 pada 6 bulan ke dua.

Pada tahun kedua atau bulan ke 13 masa kredit usahanya mendadak turun drastis, Ibu tsb mulai telat membayar angsuran bunga pinjaman, perlu diketahui posisi hutang pokoknya adalah Rp.800.000.000,-, kalau ia tidak terlambat maka ia membayar bunga adalah Rp.9.333.333,- per bulan, karena ia tidak membayar angsuran bunga selama 3 bulan maka bunganya yang harus dibayar pada bulan ke 16 adalah sbb :

1.Tunggakan bunga Bulan ke 13 = Rp.9.333.333,-
2.Tunggakan bunga Bulan ke 14 = Rp.9.333.333,-
3.Tunggakan bunga Bulan ke 15 = Rp.9.333.333,-
4.Bunga Bulan ke 16 = (Rp.800.000.000,- + (Rp.9.333.33 x 3bl) x 1,166% = Rp.9.660.000,-

Dari ilustrasi sederhana tsb di atas maka jelas kita lihat mengapa kalau Ibu tsb semakin sering telat membayar angsuran maka jumlah bunga yang harus ia bayar akan semakin besar, apalagi saat saya bertemu pinjamannya sudah menginjak tahun ke tiga, saudara bisa menghitung sendiri berapa besarnya bunga yang harus ia bayar, maka sangatlah wajar kalau ibu itu sangat sedih.

Hal ini sangat berbeda kalau misalnya ibu tsb membeli mesin produksi dengan pembiayaan bank syariah , system bank syariah tidak mengenal istilah compound interest yang ada adalah harga beli + margin = harga jual, yang mana bank syariah tidak boleh merubah harga jual yang sudah disepakati apapun yang terjadi dengan usaha nasabah tsb.

Sebagai seorang yang mengaku beriman kepada Allah,SWT dan hari akhir dari kisah nyata tsb di atas tentu saja akan mengatakan bahwa system compund interest salah satu bank konvensional tsb adalah riba yang sangat diharamkan karena telah berbuat zalim terhadap Ibu Pengusaha tsb di atas karena terus dikenakan bunga berbunga padahal usahanya sedang mengalami penurunan.

Wallahua’lam

Ya Allah Ya Rabb Ampunilah Hamba yang penuh dosa ini dan Orang-orang yang beriman baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Salam


Tangerang, 8 April 2011

Alihozi (Praktisi Bank Syariah)
http://www.facebook.com/SejutaSenyumDenganBankirBankSyariah
http://alihozi77.blogspot.com

RAHASIA DI BALIK PBB P2 & BPHTB

RAHASIA DI BALIK PBB P2 & BPHTB

Oleh : Heru Supriyanto

Pendahuluan

Pada tanggal 15 September 2009, pemerintah telah mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara resmi telah berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU yang lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD. Bagian Keenam Belas UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (saya singkat menjadi PBB P2). Sedangkan Bagian Ketujuh Belas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang  PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan  PBB P2 dan BPHTB. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh menteri keuangan bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182).
 
Mengapa PBB P2 dan BPHTB Dialihkan?

Sebagaimana telah diketahui bahwa UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan UU NO. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 adalah tergolong sebagai pajak pusat. Walaupun sebagai pajak pusat, tetapi penerimaan pajak tersebut, secara mayoritas, diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota. Cara seperti ini lebih disukai oleh banyak pemerintah kabupaten/kota. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memungut pajak tersebut, tetapi hanya menerima bagi hasilnya saja. Singkat kata, mereka tidak ingin menerima pengalihan ini. Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB P2 dan BPHTB?

Jawabnya adalah, adanya beberapa kenyataan bahwa:
  1. Kebanyakan negara maju menyerahkan urusan pajak properti (jika di Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah;
  2. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi APBN (anggaran dan pendapatan belanja negara), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, tetapi sebaliknya sebagai suatu negara yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber utama pendapatan bagi APBN  bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian,  pajak menempati posisi strategis dalam APBN. Sebagai gambarannya adalah penerimaan APBNP 2010 adalah Rp 992-an Triliun yang mana penerimaan pajak adalah Rp 743-an Triliun;
  3. Dari penerimaan pajak sebesar Rp 743-an Triliun tersebut, maka penerimaan PBB (seluruh sektor) adalah Rp 26-an Triliun dan BPHTB Rp 7-an Triliun. Namun demikian, hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB tersebut diserahkan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Landasan hukumnya adalah PMK No. 34/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah,  artinya bahwa, memang sejak awal penerimaan PBB dan BPHTB sudah menjadi bagian dari pemerintah daerah. Hal yang sama berlaku juga untuk BPHTB, dasar hukumnya adalah PMK No. 32/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005 tentang Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan dialihkannya PBB P2 (yang penuh dengan permasalahannya karena berjuta-juta jumlah objek pajaknya) menjadi pajak daerah, maka Ditjen Pajak akan lebih berkonsentrasi dalam pemenuhan target penerimaan pajak pusat.
PBB (Pajak Bumi Versus Hak Atas Tanah)

Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia (Pasal 1 UU PBB).

Bumi, menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dalam Ayat (5) disebutkan juga bahwa pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
Penggunaan istilah “bumi” pada pajak “bumi” dan bangunan berakibat pada siapa saja yang menjadi subjek pajak. Artinya, PBB dikenakan secara umum pada orang atau badan yang secara nyata a). Mempunyai suatu hak atas  bumi, dan/atau; b). “Memperoleh manfaat” atas bumi, dan/atau; c). “Memiliki”; d)”Menguasai”, dan/atau; e) Memperoleh manfaat atas bangunan.

Seandainya, istilah “bumi”  diganti menjadi “hak atas tanah”, sehingga PBB berganti menjadi Pajak “Hak atas Tanah” dan Bangunan (PHTB), maka PBB dikenakan hanya kepada objek yang bersertifikat tanah saja, seperti sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan dan hak milik satuan rumah susun.

BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah Versus Bumi)

Penggunaan istilah “hak atas tanah” pada BPHTB berakibat pada jenis perolehan. Artinya, BPHTB  dikenakan secara khusus pada orang pribadi atau badan yang memperoleh  hak atas tanah (penyusun sebut sertifikat tanah).

Seandainya, istilah hak atas tanah diganti menjadi “bumi”, sehingga BPHTB berganti menjadi Bea  Perolehan “Bumi” dan Bangunan (BPBB), maka BPBB dikenakan secara luas kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh bumi, artinya bisa saja a). “Mempunyai suatu hak” atas  bumi, b). “Memperoleh manfaat” atas bumi, c). “Memiliki bumi ataupun” d) “Menguasai bumi”.

Lebih tepatnya, pengertian tanah adalah mengarah kepada jenis hak yang meliputi hak atas tanah, hak atas air dan hak ruang angkasa. Disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disebut dengan UU PA) Pasal 4 ayat
(1)   Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam “hak atas permukaan bumi”, yang disebut “tanah”, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2)   “Hak-hak atas tanah” yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3)   Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

Pajak Versus Bea

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Ibarat dalam sebuah keluarga, maka posisi BPHTB sebagai pajak pusat adalah sebagai adik bungsu. Mengapa dinamakan bea, tidak dinamakan saja dengan pajak? Ada beberapa kenyataan, sehingga pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan tidak dinamakan PPHTB (“Pajak” Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), tetapi dinamakan BPHTB (“Bea” Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).
  1. Dalam bea,  baik BPHTB ataupun Bea Meterai, tidak membutuhkan nomor identitas sebagaimana NOP dalam PBB ataupun NPWP dalam PPh;
  2. Salah satu fungsi dari nomor identitas adalah untuk memudahkan petugas pajak mengawasi kepatuhan wajib pajak. Jika tidak memiliki nomor identitas, maka ada kecenderungan wajib pajak tidak mematuhi peraturan. Untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak, dibutuhkan pihak lain/pejabat yang secara langsung disebutkan dalam Undang-Undang BPHTB yaitu pasal 24 ataupun Undang-Undang Bea Meterai Pasal 11. Kehadiran pejabat semacam itu tidak terdapat dalam Undang-Undang pajak yang lain;
  3. Dalam bea, baik BPHTB ataupun Bea Meterai, wajib pajak diharuskan membayar pajak sebelum saat terhutang. Contoh, cek (salah satu dokumen perbankan) sudah dibayar pajak dokumen (bea meterai), jauh-jauh hari sebelum ia dicetak, apalagi saat terhutang. Dengan demikian, cek kosong pun sudah terbayar pajak dokumennya;
  4. Dalam bea, baik BPHTB ataupun Bea Meterai, wajib pajak bisa membayar pajak berkali-kali tidak terikat dengan masa ataupun tahunan.
PBB P2 (Perdesaan dan Perkotaan)

UU PBB 1985 tidak pernah menyebutkan perdesaan perkotaan (P2). Sebaliknya instilah ini dimunculkan pada UU PDRD 2009. Bahkan, Keputusan Direktur jenderal Pajak No. KEP-16/PJ.6/1998 tentang Pengenaan PBB juga tidak memberikan definisi, kecuali sebagai berikut yaitu objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta objek khusus perkotaan. Selain itu, ada juga objek pajak yang diatur secara khusus yaitu: 

1.      Usaha Bidang Perikanan
adalah semua usaha perorangan atan badan hukum yang memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumberdaya ikan, termasuk semua jenis ikan dan biota perairan Iainnya serta menyimpan, mendingin­kan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial;

2.    Objek Pajak Perairan
adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia;

3.    Objek Pajak Khusus
adalah objek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus baik ditinjau dan segi bentuk, material pembentukan maupun keberadaannya memiliki  arti yang khusus seperti Jalan Tol, Pelabuhan laut/sungai/udara,     Lapangan Golf, Industri Semen/Pupuk, PLTA, PLTU dan PLTG, Pertambangan, Tempat Rekreasi, Dan lain-lain yang sejenis.
Persyaratan Objektif BPHTB

Masih banyak orang yang belum mengetahui dan mengenal BPHTB, terutama yang paling mendasar yaitu syarat objektif BPHTB yang berakumulasi, yaitu

Pertama, objek BPHTB yaitu Pasal 2 ayat (1) UU BPHTB, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah  perbuatan atau peristiwa hukum yang mengkibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Perolehan hak atas tanah meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru dan

Kedua, perolehan hak atas tanah (sertifikat yang diterbitkan oleh BPN). Berdasarkan pasal 2 ayat (3) UU BPHTB, hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan. Artinya BPHTB hanya dikenakan terhadap perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang bersertifikat saja. Sertifikat adalah tanda bukti hak,  yang merupakan alat pembuktian yang kuat, baik mengenai macam hak, subjek atau tanahnya. Untuk mendapatkan sertifikat maka perlu dilakukan pendaftaran.

Ketiga, perolehan tersebut adalah dibuat, ditandatangani, didaftarkan, diterbitkan, ditunjuk atau diputuskan oleh para pejabat Pasal 24 UU BPHTB (yaitu notaris/PPAT, pejabat lelang negara, hakim dan badan pertanahan).

Dengan demikian, akan terhutang BPHTB jika ada perbuatan jual jual beli tanah bersertifikat, yang dilakukan secara otentik. Sebaliknya tidak akan terhutang BPHTB manakala :
  1. jual beli tanah bersertifikat dengan akta di bawah tangan; atau
  2. jual beli tanah girik walaupun akta otentik apalagi;
  3. jual beli tanah girik dengan akta di bawah tangan.
DAFTAR PUSTAKA
Supriyanto, Heru, 2008. Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Meterai, Penerbit Index, Jakarta, 2008
Supriyanto, Heru, 2010. Peluang dan Tantangan Pengalihan PBB P2 dan BPHTB, Indonenesia Tax Review, Volume  III/Edisi 01/2010
Supriyanto, Heru, 2009. BPHTB terhadap Konversi, Penegasan Hak dan  Pengakuan Hak, Indonenesia Tax Review, Volume II/Edisi 08/2009
Supriyanto, Heru, 2008. BPHTB, Sebuah Catatan, Indonenesia Tax Review, Volume 1/Edisi17/2008
Supriyanto, Heru, 2008. NPOPTKP, per-SSB ataukah Kolektif?, Indonenesia Tax Review, Volume1/Edisi 06/2008

Sumber:  http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak

Hukum Bunga dalam KPR (Kredit Pemilikan Rumah)



Hukum Bunga dalam KPR (Kredit Pemilikan Rumah)

Oleh : DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A  
Seseorang yang tidak mampu membeli rumah secara tunai, biasanya akan membelinya secara kredit lewat Bank, karena Bank biasanya memiliki produk kredit yang bisa dimanfaatkan untuk membeli rumah. Nama produk ini adalah KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Gambarannya adalah jika harga rumah tersebut adalah Rp 140 juta, maka orang tersebut harus harus membayar dulu berapa persennya, umpamanya membayar dulu 60 juta cash. Pembayaran ini oleh pihak Bank Konvensional dianggap sebagai uang muka (Down Payment = DP). Kekurangannya sebesar 80 juta terpaksa dia meminjam ke bank. Bank Konvensional langsung membayarnya ke developer rumah. Hutang tersebut harus dia bayar ke pihak Bank secara berangsur. Cara menghitung cicilan adalah dengan cara melihat berapa besar hutangnya, lalu setiap bulan ditambah dengan bunga sekian persen. Bulan depannya begitu juga seterusnya, setiap ada sisa hutang langsung ditambah bunga sekian persen. Dan begitu seterusnya sampai lunas. Umpamanya dia harus membayar 80 juta itu selama 15 tahun, setelah dihitung-hitung, maka setiap bulannya dia harus membayar 1 juta. Sehingga kalau dikalkulasikan berarti dia harus membayar ke bank sebanyak 180 juta. Itupun bisa berubah-rubah tergantung pada naik-turunnya suku bunga.
Transaksi seperti ini termasuk bagian dari riba yang diharamkan oleh Islam. Karena dia meminjam uang ke bank sebanyak 80 juta dan harus mengembalikannya sebanyak 180 juta, atau bahkan lebih. Dalam konsep Islam orang yang meminjam 80 juta, maka yang dikembalikan juga harus 80 juta. Inilah yang dimaksud dengan istilah Qardhun Hasan (Pinjaman yang Baik) karena memang pinjaman itu pada dasarnya adalah untuk membantu, bukan untuk mencekik. Berbeda dengan yang dilakukan Bank sebagaimana dalam kasus KPR, secara lahir, kelihatannya Bank sebagai pihak yang membantu, tetapi pada hakekatnya bank hanya ingin mencari untung. Kalau begitu bagaimana solusinya yang halal, jika kita memang butuh kepada rumah tersebut sedang uang muka tidak mencukupi?
Ada beberapa solusi, diantaranya adalah kita meminjam uang untuk membayar kekurangan tersebut kepada pihak tertentu yang mau meminjamkan uang tanpa bunga. Jika tidak mendapatkannya, maka kita bisa pergi ke Bank Syari’ah. Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah (Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’). Mekanismenya adalah kita memesan pada Bank Syari’ah agar membelikan rumah yang kita inginkan dari developer. Kemudian pihak Bank Syari’ah membeli rumah tersebut dari developer, lalu Bank Syari’ah tadi menjual lagi rumah tersebut kepada kita dengan cara mencicil. Biasanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga beli dari developer.

Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah (Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’)
Tetapi setelah dihitung-hitung ternyata harganya hampir sama atau bahkan lebih tinggi dari pada harga jika kita berhutang lewat Bank Konvensional dengan program bunga KPR. Kalau begitu apa bedanya membeli lewat bunga KPR dengan membeli lewat Bank Syari’ah, jika akhirnya harga yang harus dibayar sama?
Kalau kita mau meneliti dengan seksama, antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang menyolok, diantaranya:
Pertama: Dalam bunga KPR, pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya. Sedang cara yang kedua, status Bank Syari’ah adalah sebagai pedagang, karena Bank membeli langsung dari pihak developer secara penuh. Setelah rumah tersebut dibeli oleh Bank Syari’ah, secara otomatis rumah tersebut menjadi milik Bank secara penuh. Kemudian kita baru membelinya dari Bank secara berangsur. Seandainya terjadi apa-apa, seperti gempa atau banjir sehingga rumah tersebut tiba-tiba hancur sebelum diserahkan kepada kita, maka pihak Bank yang menanggung resikonya. Berbeda dengan Bank Konvensional, yang tidak mau menanggung resiko apapun jika terjadi apa-apa, karena status rumah tersebut memang bukan miliknya.
Perbedaan:
Bank Konvensional bukan pemilik rumah, sementara bank syariah sebagai pemilik rumah karena telah membelinya dari developer.
Jika sebelum dibeli, rumah hancur atau rusak Bank syariah akan bertanggung jawab, ikut menanggung resiko. Berbeda dengan bank konvensional, tidak mau menanggung resiko.
Transaksi di Bank Syariah adalah jual beli biasa, tidak riba. Sementara kredit rumah di bank konvensional akan terlibat riba.
Kedua: Ketika membayar cicilan di dalam Bank Konvensional kita akan terkena riba. Sedang dalam Bank Syari’ah transaksi yang dilakukan tidak melibatkan bunga, tapi jual beli biasa. Keterangannya adalah bahwa harga rumah dalam Bank Syari’ah sudah jelas, umpamanya 240 juta dengan dicicil selama sepuluh tahun. Maka tiap bulan dia membayar 2 juta, tidak berubah sampai lunas. Sedang dalam Bank Konvensional pembayaran tiap bulan disesuaikan dengan suku bunga yang naik-turun tidak karuan. Jika suku bunga bank naik, maka kredit yang sudah berjalan pun ikut disesuaikan. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga baru yang lebih tinggi, akibatnya cicilannya jadi lebih besar.
Yang jelas, sistem yang digunakan oleh Syariah Islam jauh lebih unggul dan lebih aman, serta tidak ada pihak yang dirugikan. Dan kepada siapa saja yang sudah terlanjur membeli rumah dengan sistem bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) di Bank Konvensional bisa memindahkan KPR tersebut ke Bank Syariah. Mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan-Nya yang lurus. (PurWD/voa-islam.com)
* Penulis meraih gelar Doktoral dalam bidang Syariah dari Universitas Al Azhar, Kairo, tahun 2007. 

ASPEK PERPAJAKAN TRANSAKSI MURABAHAH PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN


ASPEK PERPAJAKAN TRANSAKSI MURABAHAH PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

Berlakunya Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, memberikan angin segar bagi pelaku transaksi syariah. Pasalnya kedua Undang Undang ini mulai mengatur perlakuan perpajakan secara khusus atas transaksi syariah, sehingga lebih memberikan kepastian hukum perlakuan perpajakan transaksi syariah yang selama ini terjadi terdapat perbedaan persepsi mengenai perlakuan perpajakan antara para pelaku transaksi syariah dan Direktorat Jenderal pajak.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 31D memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur perlakuan Pajak Penghasilan  atas transaksi kegiatan Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama yang berdasarkan sistem konvensional. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang  sama.

Kenyataannya transaksi syariah memang unik.  Prinsip dalam transaksi syariah yang melarang adanya unsur:

a.        riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadhl);
b.        kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan);
c.        maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);
d.        gharar (unsur ketidakjelasan); dan
e.        haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang terkait).
Konsekuensi dengan tidak diperkenankannya adanya unsur riba, maka pengenaan bunga seperti dalam kelaziman pembiayaan konvensional tidak diperkenankan, sehingga dalam transaksi syariah pola pembiayaan diubah dengan skema-skema tertentu yang jika dikenakan pajak dengan perlakuan perpajakan yang berlaku umum akan mengakibatkan perlakuan yang tidak netral antara pembiayaan dengan prinsip syariah dan pembiayaan konvensional.

Dalam prakteknya, transaksi syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain:

a.        transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b.        transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna;
c.        transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dan
d.        transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh;

Tulisan ini hanya akan membahas aspek perpajakan atas transaksi transaksi murabahah saja, dengan pertimbangan bahwa transaksi ini saat ini yang paling dominan yang dilakukan para pelaku transaksi syariah.

A. Transaksi Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli.

Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset murabahah yang telah dibeli oleh penjual mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi tanggungan penjual dan akan mengurangi nilai akad.

Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli, tetapi pembayaran dilakukan secara angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.

Akad murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati, maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan.

B. Akuntansi Murabahah
Sesuai dengan PSAK No 102 diatur mengenai perlakuan akuntansi dari sisi penjual maupun pembeli

Akuntansi Untuk Penjual
Pada saat perolehan, aset murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan.
Pengukuran aset murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut:
  1. jika murabahah pesanan mengikat, maka:
    1. dinilai sebesar biaya perolehan; dan
    2. jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak, atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diaku sebagai beban dan mengurangi nilai aset:
  2. jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka:
    1. dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan
    2. jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
Diskon pembelian aset murabahah diakui sebagai:
  1. pengurang biaya perolehan aset murabahah, jika terjadi sebelum akad murabahah;
  2. kewajiban kepada pembeli, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang disepakati menjadi hak pembeli;
  3. tambahan keuntungan murabahah, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad menjadi hak penjual; atau
  4. pendapatan operasi lain, jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan dalam akad.
Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon pembelian akan tereliminasi pada saat:
  1. dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah dikurangi dengan biaya pengembalian; atau
  2. dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau oleh penjual.
Pada saat akad murabahah, piutang murabahah diakui sebesar biaya perolehan aset murabahah ditambah keuntungan yang disepakati. Pada akhir periode laporan keuangan, piutang murabahah dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang.

Keuntungan murabahah diakui:
  1. pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun; atau
  2. selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahahnya:
    (i) Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan untuk  tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaa piutang serta penagihannya relatif kecil;
    (ii) Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasih ditagih dari piutang murabahah. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga;
    (iii) Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.
Pengakuan keuntungan, dalam  dilakukan secara proporsional atas jumlah piutang yang berhasil ditagih dengan mengalikan persentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih. Persentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya perolehan aset murabahah.

Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi murabahah dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00; serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun; dimana jumlah angsuran, pokok dan keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sebagai berikut:
Tahun
Angsuran
Pokok
Keuntungan
1
500
400
100
2
300
240
60
3
200
160
40
Potongan pelunasan piutang murabahah yang diberikan kepada pembeli yang melunasi secara tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah.

Pemberian potongan pelunasan piutang murabahah dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu metode berikut:
  1. diberikan pada saat pelunasan, yaitu penjual mengurangi piutang murabahah dan keuntungan murabahah; atau
  2. diberikan setelah pelunasan, yaitu penjual menerima pelunasan piutang dari pembeli dan kemudian membayarkan potongan pelunasannya kepada pembeli
Potongan angsuran murabahah diakui sebagai berikut:
  1. jika disebabkan oleh pembeli yang membayar secara tepat waktu, maka diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah;
  2. jika disebabkan oleh penurunan kemampuan pembayaran pembeli, maka diakui sebagai beban.
Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan.

Pengakuan dan pengukuran uang muka adalah sebagai berikut:
  1. uang muka diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima;
  2. jika barang jadi dibeli oleh pembeli, maka uang muka diakui sebagai pembayaran piutang (merupakan bagian pokok);
  3. jika barang batal dibeli oleh pembeli, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penjual.
Akuntansi Untuk Pembeli Akhir
  1. Hutang yang timbul dari transaksi murabahah tangguh diakui sebagai hutang murabahah sebesar harga beli yang disepakati (jumlah yang wajib dibayarkan);
  2. Aset yang diperoleh melalui transaksi murabahah diakui sebesar biaya perolehan murabahah tunai. Selisih antara harga beli yang disepakati dengan biaya perolehan tunai diakui sebagai beban murabahah tangguhan;
  3. Beban murabahah tangguhan diamortisasi secara proporsional dengan porsi hutang murabahah;
  4. Diskon pembelian yang diterima setelah akad murabahah, potongan pelunasan dan potongan hutang murabahah diakui sebagai pengurang beban murabahah tangguhan;
  5. Denda yang dikenakan akibat kelalaian dalam melakukan kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian;
  6. Potongan uang muka akibat pembeli akhir batal membeli barang diakui sebagai kerugian.
Ilustrasi Jurnal
Jurnal Penjual
Jurnal Pembeli
Penjual melakukan pembelian barang dari supplier
Db. Persediaan murabahah
Kr. Kas
-
Penjualan barang murabahah
Db. Piutang murabahah
Kr. Persediaan murabahan
Kr. Pendapatan murabahah ditangguhkan
Db. Aktiva
Db. Beban murabahan ditangguhkan
Dr. Hutang murabahah


Pembayaran angsuran murabahah
Db. Kas
Kr. Piutang murabahah
Db. Hutang murabahah
Kr. Kas
Db. Pendapatan murabahah ditangguhkan
Kr. Pendapatan murabahah
Db. Beban murabahah
Kr. Beban murabahah ditangguhkan

C. Aspek Pajak Transaksi Murabahah
Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh)
Penghasilan Objek PPh:
Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana.

Ketentuan pemajakan atas transaksi murabahah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Karena terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli, maka terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan. Dalam hal penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam negeri, sesuai dengan ketentuan pasal 23 UU PPh, akan dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%. Apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP maka akan dipotong PPh pasal 23 sebesar 100% lebih tinggi dari tarif normal. Sedangkan jika penerima penghasilan merupakan subjek pajak luar negeri maka akan dikenakan PPh pasal 26 dengan tarif 20% atau tarif sesuai dengan tax treaty.

Namun demikian, dalam hal transaksi murabahah dilakukan oleh Bank Syariah sebagai penjual maka atas margin tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (4) UU Pajak Penghasilan dimana dalam ketentuan tersebut diatur bahwa penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.

Sampai saat ini ketentuan perpajakan belum mengatur secara khusus saat pengakuan penghasilan dalam transaksi murabahah yang dilakukan Bank Syariah. Sesuai dengan pasal 28 UU KUP perlakukan perpajakan mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan. Dalam PSAK 102 keuntungan murabahah diakui:
  • pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun; atau
  • selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahah-nya:
  • Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan untuk murabahah tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya relatif kecil.
  • Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang murabahah. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga.
  • Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.
Pengakuan keuntungan, dalam  hal dilakukan secara proporsional atas jumlah piutang yang berhasil ditagih, dilakukan dengan cara mengalikan persentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih. Persentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya perolehan aset murabahah.

Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi murabahah dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00; serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun; dimana jumlah angsuran, pokok dan keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sebagai berikut:
Tahun
Angsuran
Pokok
Keuntungan
1
500
400
100
2
300
240
60
3
200
160
40
Dalam transaksi murabahah denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan oleh Bank Syariah. Denda yang diterima tersebut secara fiskal merupakan penghasilan objek PPh.

Pada akhir tahun pendapatan margin murabahah diakumulasi bersama dengan penghasilan lainnya dikenakan PPh Tarif Umum dari basis netto.
Dalam hal Bank Syariah menjual tanah dan bangunan perlu diperhatikan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. Ketentuan tersebut mengatur besarnya PPh sebesar  5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan bersifat final. Nilai pengalihan hak tersebut adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.

Terkait dengan transaksi murabahah ketentuan ini bisa menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Bank Syariah, karena transaksi murabahah yang dilakukan oleh Bank Syariah tujuannya adalah pembiayaan bukan semata-mata jual beli, sehingga seharusnya Bank Syariah tidak dikenakan PPh Final atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.namun tetap mengacu pada prinsip umum transaksi murabahah dimana objek PPh dikenakan atas margin murabahah dan tidak bersifat final.

Biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung PPh :
Dalam PSAK 102 piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu saldo piutang murabahah dikurangi penyisihan kerugian piutang. Untuk kepentingan penghitungan PPh, sesuai  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang   Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang  Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya diatur bahwa Bank syariah diperkenankan untuk membuat pencadangan piutang tak tertagih. Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagai berikut :
  • 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan Pemerintah berdasarkan prinsip syariah;
  • 5 % (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;
  • 5% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah  dikurangi dengan nilai agunan;
  • 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
  • 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :
  1. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  2. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
Sedangkan besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah ditetapkan sebagai berikut :
  • 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia;
  • 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
  • 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
  • 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan paling tinggi adalah :
  • 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
  • 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
PSAK 102 menyatakan pengukuran aset murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut:
  1. jika murabahah pesanan mengikat, maka:
    1. dinilai sebesar biaya perolehan; dan
    2. jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak, atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi nilai aset:
    3. jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka:
      • dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan
      • jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
Pengukuran aset murabahah menurut PSAK tersebut merupakan penerapan prinsip konservatisme. UU PPh tidak menganut prinsip konservatisme, sehingga aset murabahah akan selalu dinilai menggunakan biaya perolehan. Biaya yang muncul terkait dengan penerapan prinsip konservatisme oleh ketentuan UU PPh tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Ketentuan perpajakan menganut prinsip realisasi. Kerugian karena penurunan aktiva baru akan diakui ketika benar-benar terealisasi yaitu ketika dijual.

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dengan berlakunya UU No 42 tahun 2009, perlakuan PPN untuk transaksi pembiayaan murabahah yang selama ini menjadi ganjalan menjadi lebih jelas. Bank Syariah tidak perlu memungut PPN atas penyerahan barang kena pajak kepada pembeli akhir. Berdasarkan Pasal 1 A ayat (1) huruf h UU No 42 Tahun 2009 penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Contoh : dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.

Perlakuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dalam hal Bank Syariah melakukan transaksi murabahah atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menjadi objek BPHTB. Tarif BPHTB sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak.

Kondisi ini menciptakan perlakuan yang tidak netral dengan perbankan konvensional. Dalam kasus kredit perumahan oleh bank konvensional jual beli terjadi antara perusahaan pengembang perumahan (developer) dengan kreditur selaku pembeli. Sehingga BPHTB terutang langsung pada kreditur selaku pembeli. Namun dalam transaksi murabahah, secara akad terjadi dua transaksi jual beli yaitu antara perusahaan pengembang perumahan dengan Bank Syariah dan antara bank syariah dengan nasabah selaku pembeli akhir. Akibatnya BPHTB terutang dua kali, yaitu oleh Bank Syariah dan oleh nasabah selaku pembeli akhir.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kewenangan pengenaan BPHTB paling lambat mulai tahun 2011 berada pada Kabupaten/Kota bukan lagi pada pemerintah pusat. Sehingga mulai tahun 2011 mekanisme pengenaan BPHTB tidap daerah bisa berbeda tergantung dari Peraturan Daerah masing-masing.

Perlakuan Bea Meterai
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 TAHUN 1985 Tentang Bea Meterai, dokumen yang terutang bea meterai saat akad murabahah disepakati, antara lain :
  • surat perjanjian/akad murabahah;
  • kuitansi/tanda terima uang;
  • akta-akta yang dibuat oleh pejabat PPAT dalam hal akad murabahah menyangkut pengalihan tanah
D. Penutup
Sampai saat ini aturan pelaksana untuk perlakuan perpajakan terhadap transksi syariah khususnya mengenai Pajak Penghasilan baru sebatas pada Peraturan Pemerintah, sedangkan untuk perlakuan Pajak Pertambahan nilai baru sebatas Undang-Undang. Tentu saja para pelaku transaksi syariah masih menunggu petunjuk teknis yang lebih jelas dalam aturan-aturan pelaksanaan dibawahnya. Terkait dengan beragamnya pendekatan transaksi syariah dan untuk memberikan perlakuan yang netral antar industri yang sama disarankan pembentukan peraturan pelaksana untuk transaksi syariah menggunakan pendekatan sektor industri, misalnya transaksi syariah industri perbankan, transaksi syariah industri asuransi, dan industri lainnya.

D. Daftar Pustaka
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • Undang-Undang Nomor 13 TAHUN 1985 tentang Bea Meterai
  • Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang  Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
  • Ikatan Akuntan Indonesia, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
  • Ikatan Akuntan Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah
  • Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan no. 102 Akuntansi Murabahah

Ditulis oleh : Anang Mury Kurniawan, Widyaiswara Pusdiklat Pajak
Artikel ini dimuat di Majalah Gagas Pajak Edisi I Bulan Agustus 2010

 Sumber : http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak