Halaman

Jumat, 28 Desember 2012

Bahaya Sistem Bunga


Bahaya Sistem Bunga

Muhammad Syarif Surbakti
(Senior Compliance and Risk Management Officer PT Bank Muamalat Indoneisa)

Untuk menahan laju inflasi, Bank Indonesia menaikkan lagi BI Rate jadi 11 persen. Asumsinya adalah mengimbangi laju inflasi yang setelah kenaikan BBM terakhir diperkirakan mencapai 12 persen. Naiknya BI Rate memicu naiknya suku bunga pinjaman dan deposito. Tahun 1998, tindakan ini mengakibatkan bank konvensional berguguran. Amat dipahami bahwa bukan tanpa dasar Islam melarang praktik bunga. Uraian di bawah ini menjelaskan dampak negatif dari bunga bank.

1. Melahap kekayaan orang lain
Masih segar dalam ingatan fakta mengerikan ketika deposan bank nasional melahap kekayaan dan akumulasi keuntungan bank nasional selama puluhan tahun hanya dalam tempo tiga tahun (dalam kurun 1997-1999). Peristiwa itu mengakibatkan kerugian agregat Rp 700 triliun yang jadi beban negara melalui program penyehatan dan rekapitalisasi perbankan nasional.

Ini tak lain karena negative spread (bunga deposito lebih tinggi dari suku bunga kredit). Ketika itu, rata-rata bunga deposito mencapai 40-60 persen, sedangkan bunga kredit 30-40 persen. Perbankan mengalami pendarahan hebat. Modal tergerus hingga minus. Di sisi lain, usaha dan kerja keras debitur jadi sia-sia karena biaya non-operasi (biaya bunga kredit) amat mencekik hingga banyak perusahaan rugi.

2. Menimbulkan kebencian dan niat jahat
Orang-orang miskin, karena menyadari bahwa kreditor telah memakan harta kekayaannya akan menyumpahi dan mengharapkan mereka tertimpa hal buruk. Praktik bunga turut membantu menyebarluaskan keinginan jahat dan kebencian di masyarakat. Berita kriminal di televisi kerap menampilkan kisah pembunuhan yang diakibatkan utang-piutang. Profesi pemakan bunga, rentenir atau apapun namanya di masyarakat memiliki nama yang tidak baik.

3. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin
Dalam masyarakat kapitalis, orang kaya akan menjadi semakin kaya dengan mengumpulkan kekayaan orang miskin melalui bunga, sedangkan orang miskin bertambah miskin. Bunga menjadi alat eksploitasi kaum kuat terhadap kaum lemah. Ini diakui filsuf Yunani.

Sistem bunga mengerem investasi dan menurunkan tingkat akumulasi modal, sebab semakin tinggi suku bunga maka tingkat investasi menjadi semakin berkurang. Rasulullah SAW mengingatkan dan menegaskan suatu kepastian sebagai hukum bahwa bunga tidak meningkatkan investasi bahkan sebenarnya mengurangi kekayaan.

Dengan sistem bunga, orang yang punya uang memilih mendepositokan uangnya pada salah satu bank yang aman dengan program penjaminan pemerintah. Kemudian uangnya akan beranak-pinak menjadi berlipat kali, dengan hanya tidur-tiduran saja di rumah. Sementara, bank karena negative spread akan rugi (bangkrut).

4. Beban risiko dan keuntungan tidak adil
Dalam transaksi kredit berbasis bunga, secara struktural beban risiko dan keuntungan (risk and return) tidak seimbang (fair) antara kreditur dan debitur. Misalnya, dalam skim kredit berbasis bunga, kreditur selalu memposisikan dirinya superior. Ini dapat dilihat dari akad kredit yang secara tegas mengutamakan hak-hak prioritas kreditur di atas kepentingan debitur.

Jika, nasabah mengalami kesulitan di dalam bisnisnya yang murni dikarenakan masalah sistemik, bukan dikarenakan kecurangan dan kejahatan moral, kreditur tidak akan mau tahu. Debitur tetap wajib membayar kewajiban pokok dan bunga. Jika terlambat, bunganya akan bertambah plus tunggakan dan denda. Jika nasabah memperoleh keuntungan yang sangat besar, kreditur tetap mendapat porsi yang lebih kecil sebesar suku bunga pinjaman yang ditetapkan.

Kondisi ini akan berbeda bila skim yang digunakan adalah bagi hasil. Nasabah juga jadi was-was dan tak berani mengembangkan usaha karena hasil usaha sifatnya belum pasti sedangkan bunga bank pasti dan harus dibayar. Jaminan di dalam skim transaksi berbasis bunga murni berfungsi sebagai sumber alternatif pengembalian pinjaman plus bunganya dan denda (pure secondary wayout). Debitur sering kehilangan harta yang jadi agunan sehingga hidup lebih miskin dari sebelumnya.

5. Social cost meningkat
Salah satu dampak sistem utang konvensional sekarang ini adalah memberikan bentuk kekuasaan yang nyata, yaitu kekuasaan kreditor melakukan intervensi ke dalam sistem perekonomian negara-negara pengutang hingga menggoyang kedaulatan negara.

Akibat hutang dengan sistem bunga, hutan negara tropis mengalami penggundulan sehingga ekosistem dan iklim jadi tidak seimbang. Utang yang harus dibayar kepada pihak asing dan obligasi pemerintah pada bank-bank yang direkap (berikut bunganya) diperkirakan menggelembung jadi Rp 2000 triliun. Jika kita mampu membayar Rp 2 triliun setiap tahun, maka utang Indonesia baru lunas 1000 tahun, itu pun dengan syarat tidak ada lagi tambahan hutang baru.

Apa yang telah dilakukan Pemerintah untuk menanggung hutang ribawi tersebut di dalam APBN-nya? Rentetan fakta yang kita saksikan secara langsung adalah menaikkan harga- harga barang/jasa strategis seperti BBM, listrik, telepon dan barang-barang lainnya melalui skim perpajakan. Yang lebih tragis lagi adalah mengobral aset dan sumber daya alam strategis negara.

Hal lain yang patut dicemaskan adalah bunga akan berdampak kepada inflasi. Semakin tinggi suku bunga, maka tingkat inflasi juga akan semakin tinggi. Jika biaya bunga tinggi, maka produsen akan meningkatkan harga barang dan memacu produksi barang supaya mencapai impas. Pada sisi lain, daya beli dan investasi terbatas. Pengangguran pun bertambah. Wallahu a'lam.

( )

Republika, Kamis, 06 Oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar